jiwa puisi


sumber foto : https://pixabay.com/id/photos/teh-waktu-puisi-kopi-membaca-3240766/

 *BAB II*
 *JIWA PUSI*

  A. Pendahuluan Setiap karya seni, mengandung ‘maksud’ atau tujuan yang hendak disampaikan penciptanya, dengan menggunakan ‘sarana’ untuk menyampaikannya. Maksud karya seni adalah apa yang menjadi ‘isi’ dari karya seni itu, sedangkan sarana seni akan berkait dengan struktur fisik atau bentuk karya seni itu. Istilah lain diberikan oleh pakar sastra strukturalis dari Amerika, yaitu TS Elliot, yang membahasakan istilah ‘isi’ dengan ‘hakikat’, dan istilah ‘bentuk’ dengan ‘metode’. Penjelasan TS Elliot di atas mengandung pemahaman, bahwa hakikat puisi akan membicarakan inti atau kedalaman puisi, sementara metode puisi, akan berkait dengan teknik penyusunan kata, atau bahasa dalam menulis puisi. Saya membahasakan istilah ‘isi’ dengan ‘Jiwa’ puisi, dan istilah ‘bentuk’ dengan ‘Raga’ puisi.

 Pemberian istilah Jiwa dan Raga ini, adalah untuk memudahkan pemahaman, dengan cara membandingkan puisi terhadap manusia, yang juga memiliki ‘jiwa’ dan ‘raga’. Biasanya dengan dibuatkan perbandingan, setiap penjelasan, akan lebih mudah dipahami. Sebelum membahas jiwa puisi, saya akan mengawali paparan, dengan sebuah pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan ‘jiwa’ manusia? KBBI memuat enam penjelasan tentang jiwa. Namun yang paling relevan dengan paparan ini, adalah poin nomor 1 dan 2. Jiwa adalah: 1) ruh manusia (yang ada di dalam tubuh, menyebabkan seseorang hidup); nyawa; 2) seluruh kehidupan batin manusia (yang terdiri dari perasaan, pikiran, angan-angan, dsb.). Dari penjelasan nomor 1 dan 2 tersebut, dapat ditarik kesimpulan, manusia hidup dengan memiliki jiwa: ruh, pikiran, perasaan, angan-angan, dan sebagainya. Masuk ke dalam barisan ‘dan sebagainya’ itu, antara lain: naluri, intuisi, nafsu, keinginan, hayalan, dan mungkin masih ada lagi. Karena saya bermaksud membandingkan antara puisi dan manusia, maka jika ‘jiwa’ manusia terdiri dari beberapa unsur, di mana unsur paling utama adalah ‘ruh’, lalu bagai-mana dengan ‘jiwa’ puisi? Jiwa puisi pun, terdiri dari beberapa unsur. 

Jika unsur utama dalam jiwa manusia adalah ruh, lalu apa yang menjadi unsur utama dalam jiwa puisi? Jawabannya adalah, amanat atau pesan! Amanat menempati unsur utama yang membentuk jiwa puisi, malah disetarakan dengan ‘ruh’ bagi manusia, karena tidak bisa disangkal, puisi adalah anak batin penyairnya. Banyak yang bersetuju, begitu sebuah karya lahir, maka pengarang telah mati. Saya tidak sependapat. Secara hukum dan politik, yang bertanggung jawab terhadap karya tulis, tetaplah pengarangnya. Wiji Thukul telah menulis puisi kritik-satiristik, yang oleh Orde Baru dinilai telah menghina, bukankah dia yang diculik? Unsur lainnya, yang menjadi jiwa puisi, adalah setara dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yang menempati poin nomor 2 menurut KBBI: Pikiran, perasaan, angan-angan, dsb (intuisi, naluri, keinginan, nafsu, hayalan). 

 Berangkat dari pertanyaan dan jawaban di atas, saya akan paparkan satu per satu unsur-unsur yang membangun jiwa puisi, dan dimulai dari amanat. B. Amanat Amanat atau pesan dalam puisi, adalah ibarat ruh bagi manusia. Manusia tanpa ruh, tentu tidak hidup, dan puisi tanpa amanah, sama dengan tidak berjiwa. Amanat sangat menentukan kuat atau lemahnya jiwa sebuah puisi. Amanat yang tegas, dan dapat diserap maknanya oleh apresiator, menunjukkan jiwa puisi tersebut telah hidup. Sebaliknya, bila puisi tidak dapat ditangkap amanatnya, maka jiwa puisi tesebut ibarat mati, setidaknya untuk pembaca yang tidak bisa menangkap amanat yang dimaksud si penyair. Bila sebuah puisi tidak dapat ditangkap amanatnya, di sana terdapat banyak kemungkinan. Kemungkinan pertama, si penyair telah gagal berkomunikasi lewat puisi. Kemungkinan kedua, pembaca kurang wawasan dalam mengapresiasi puisi. Kemungkinan paling parah, penyair gagal menulis puisi yang amanatnya bernas, sementara pembaca, masih awam dalam mengapresiasi puisi.

 Miskomunikasi atau mispersepsi dalam penyampaian serta pembacaan amanat, sangat mungkin terjadi, disebabkan adanya kesenjangan wawasan antara penyair dan pembaca. Jika itu yang terjadi, maka bukan berarti si penyair telah gagal berpuisi. Inilah salah satu problematika dunia pendidikan seni di Indonesia, bahwa pendidikan apresiasi terhadap kesenian, termasuk seni puisi, memang pengajarannya di sekolah, belum memuaskan. Amanat dalam puisi, harus disampaikan dengan tegas. Tapi bukan berarti demi amanat yang tegas, puisi harus ditulis secara verbal. Saya sampaikan di bagian akhir sub-bab ‘istilah’, bahwa puisi adalah komunikasi simbolik dengan bahasa yang estetik. Simbolisasi dalam puisi, dirangkai dengan mengguna-kan majas (gaya bahasa). Para penulis puisi yang masih verbal dalam menyampaikan pesan, bisa jadi ia tidak mengerti teknik membuat permajasan, dan atau bisa jadi ia anti majas. Tapi permajasan, memang hanya diajarkan sekedarnya di sekolah-sekolah, sehingga banyak penulis puisi yang kurang memahaminya. Teknik permajasan ini, akan lebih menukik dipaparkan pada bagian “Raga” puisi. Kembali pada masalah amanat, perlu selalu dibangun kesadaran, bahwa saat kita sedang menulis puisi, sebenarnya puisi yang kita tulis itu, mau disampaikan kepada siapa? Jawaban atas pertanyaan di atas, itulah yang bisa membantu kita dalam mempertegas pemuatan amanat dalam puisi. Saya tegaskan di atas, bahwa karya seni termasuk puisi, digubah dengan tujuan hendak mengkomunikasikan apa yang ada dalam jiwa si penciptanya. Lahir pertanyaan berikutnya, kepada siapa komunikasi itu hendak ditujukan? Kepada alam atau Tuhan-kah? Kepada manusia, atau kepada siapakah? Kepada siapapun amanat puisi ditujukan, namun cukup jelas ada pihak yang dituju. Saya sarankan, hadirkanlah pihak yang dituju itu ke dalam larik-larik puisi, supaya terasa geliat komunikasi berlangsung di dalamnya.

 Kelemahan yang sering saya temui pada puisi-puisi karya pemula, adalah tidak jelasnya pihak yang hendak dituju. Puisi yang ditulisnya itu, hanya memaparkan keadaan, tanpa melibatkan pihak yang hendak dituju. Misalnya penggalan puisi di bawah ini. Angin pagi menggebu Mentari mulai merayap Awan makin menepi Burung-burung menghiasi langit Di kali air bernyanyi merdu nian Penggalan puisi di atas, berusaha menangkap suasana alam. Si penulis berusaha menghadirkan momentum puitik, namun pembaca tidak dilibatkan secara langsung. Puisi seperti itu, bila diibaratkan manusia, dia sedang bicara sendirian.

 Orang yang suka berbicara sendiri, apalagi di tengah keramaian, bukankah dia orang gila?

 Orang gila, bahasa lainnya adalah sakit jiwa. Nah, puisi yang bicara sendiri, bisa disejajarkan dengan orang yang sakit jiwa. Ia harus diterapi supaya sembuh. Penggalan puisi di atas, dapat disembuhkan jiwanya, antara lain dengan melibatkan pembaca ke dalam puisi tersebut. Semula seperti di bawah ini. Angin pagi menggebu Mentari mulai merayap Awan makin menepi Burung-burung menghiasi langit Di kali air bernyanyi merdu nian Direvisi dengan melibatkan pembaca ke dalam puisi. Angin pagi menggebu Mengabarkan kehadiranmu Mentari mulai merayap Awan makin menepi Burung-burung menghiasi langit Di kali air bernyanyi merdu nian Mengingatkanku pada suaramu yang syahdu Bila pembaca atau pihak yang hendak kita tuju, tidak dilibatkan sama sekali, seperti pada penggalan puisi yang belum direvisi, itu artinya sama dengan si penulis sedang berbicara sendiri, dan tidak membutuhkan pendengar. Puisi yang seperti itu, menjadi tidak komunikatif, dan tidak intim bagi pembaca. Puisi yang meracau sendiri, itulah puisi yang sakit jiwanya, dan harus diperbaiki, atau direvisi. Merevisi puisi, sungguh menjadi pekerjaan yang amat memprihatinkan, apalagi bila diukur dengan nilai UMR (upah mininum regional). Meski demikian, saya sering menemukan keasyikan saat melakukannya, karena ada dua semangat yang memancar. Pertama, merevisi puisi menjadi semacam spekulasi intelektual, di mana otak terus diasah untuk berpikir, agar konon kelak tidak mudah pikun. Kedua, ada keyakinan bahwa pekerjaan tersebut merupakan ibadah kebudayaan. Bagi saya, beragama bukan sekedar menjalankan yang 'syariat', tapi juga harus sampai pada esensi yang hakikiah, yaitu ‘rahmatan lil 'alamin’ (berkah bagi semua alam), termasuk alam imajinasi yang coba dibangun oleh para penyair. Melibatkan pembaca ke dalam puisi, tidak mesti selalu menyertakan diksi 'kau' atau partikel '-mu' pada larik yang kita tulis, tapi bisa saja pembaca hadir sebagai penyaksi dari 'dunia' yang kita bangun dengan kata-kata. Contohnya, seperti puisi di bawah, yang ditulis oleh Ipit Saifider Dimyati. BUKAN PENYAIR Ini aku bukan penyair Menjaring kata-kata Dari televisi, papan reklame Dan mulut politikus Yang terdengar manis Namun menancapkan pedang Di ulu hati Ini aku bukan penyair Menyuling kata-kata Dengan nurani Untuk melihat kenyataan Yang telah dibungkus Dengan tebal Oleh kepentingan Ini aku bukan penyair Menampung kata-kata Dari para pengamen, pengemis Dan para dhuafa Yang dibiarkan sengsara Oleh pengaturan negara Ini aku bukan penyair Menyanyikan cinta Dari kata-kata Yang berserak jadi sampah Di setiap langkah pengembaraan Tanpa peta Pada puisi di atas, si penyair tidak menghadirkan kau atau ‘mu’ sebagai pembaca. Namun, peyair tetap melibatkan pembaca yang diandaikan sebagai pendengar, ketika puisi itu dibacakan. Kehadiran diksi ‘aku’ dalam larik-larik puisi, dapat menyebabkan hadirnya kau atau kalian sebagai pembaca yang hendak dituju. Amanat dalam puisi, sebaiknya ditujukan kepada manusia, tapi bukan berarti tidak bisa ditujukan kepada Tuhan atau yang lainnya. Namun harus selalu disadari, pembaca puisi kita adalah manusia. Amanat dalam puisi, bisa berupa pengumuman, ajakan, permohonan, tawaran, larangan, perintah, seruan, teguran, rayuan, bujukan, penerimaan, penolakan, dan lain-lain. Amanat yang dimaksudkan oleh penyair, akan lebih memungkinkan dapat ditangkap atau dipahami oleh pembaca, bila disampaikan dalam bahasa yang sesuai dengan aturan kebahasaan. Karena itu, para penyair sebaiknya mempelajari ‘ilmu’ bahasa. Apakah yang dimaksud dengan ‘ilmu’? Penjelasan tentang ‘ilmu’, menjadi salah satu bahasan dalam bidang logika dan filsafat. Menurut para ahli terdahulu, filsafat adalah cara berpikir logis untuk mencapai kebenaran yang esensial. Logika adalah cara berpikir yang wajar, waras, masuk akal, dan dapat dimengerti karena didukung oleh pembuktian-pembuktian berupa data dan fakta. Adapun ‘ilmu’ adalah pengetahuan yang dapat diterima kebenarannya secara logis, karena itu, sebuah ilmu dapat menjadi formula atau rumus untuk mengukur ‘sesuatu’. Bisa disederhanakan, bahwa ilmu itu adalah sebuah teori yang teruji dan dapat dibuktikan. Lalu apa pentingnya belajar logika untuk kepentingan pelajaran menulis puisi? Bukankah puisi itu merupakan karya seni, dan bukan bagian dari sains atau ilmu pasti? Belajar memahami logika amat penting dalam proses penciptaan karya seni, terutama untuk karya seni dengan aliran realisme. Paling mudah menunjukkan pentingnya memahami logika dalam berkesenian, adalah saat melukis bercorak realis. Bila lukisan tidak mirip dengan objek yang dilukisnya, orang yang melihat akan dengan mudah melihay ketidakmiripannya. Juga dalam seni musik, mudah menilai sebuah nyanyian yang ‘fals’ atau tidak. Nah, penilaian tidak mirip atau fals, itu bisa dilakukan karena ada logika yang bekerja, yaitu logika indrawi. Juga di dalam puisi, logika yang terkait dengan fungsi indra, akan berlaku. Penulis puisi semestinya memperhatikan logika indrawi, guna tersampaikannya pesan secara sohih dan bernas kepada pembaca. B.1. Logika Indrawi Sering disebut-sebut, bahwa manusia memiliki lima indra, sehingga disebut dengan pancaindra. Indra adalah alat untuk mendeteksi sesuatu, dan menyampaikannya ke otak, untuk diolah, kemudian lahirlah kesan. Indra tersebut, memiliki logika sesuai dengan fungsinya masing-masing. Mata adalah untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan seterusnya. Jika ada sebuah klausa berbunyi, ‘kudengar mawar merakah,’ akan sulit dibenarkan menunurut logika indrawi, sebab mawar merekah itu terlihat, dan bukan terdengar, jadi klausa tersebut mestinya berbunyi, ‘kulihat mawar merekah.’ Namun dalam puisi, klausa ‘kudengar mawar merekah’, bisa diterima bila diikuti klausa-klausa lainnya yang bisa menjelaskan, bahwa klausa tadi memang disengaja seperti itu, sebagai sitilistika (gaya bahasa) tersendiri, khas si penyair. Contohnya seperti di bawah: Kudengar mawar merekah kudengar pula bumi berbisik dan batu bicara kepadaku dengan bahasa diam Larik-larik pada barik di atas, kurang tepat secara logika indrawi, namun bisa diterima sebagai gaya si penyair, yang seolah-olah pendengarannya begitu peka, sehingga dapat mendengar gerak kelopak mawar saat merekah. Namun sering terjadi pada karya para pemula, kesalahan logika indrawi itu terjadi bukan karena disengaja, namun karena ketidaktahuan, atau ketidaktelitian dalam penggunaan indra dan fungsinya. Logika indrawi dalam tulisan, harus digunakan dengan benar, sebab lahirnya imajinasi dalam karya tulis, disebabkan adanya deskripsi yang mengikutsertakan fungsi indra. 

Imajinasi dalam bahasa sederhananya adalah ‘bayangan’, dan hal yang bisa membuat bayangan adalah hasil dari pengindraan. Perhatikan larik-larik yang ditulis oleh Acep Zamzam Noor: Seperti daun-daun yang luruh. Ranting-ranting Yang lepas oleh angin. Demikianlah kutempatkan diriku Asing dan sunyi di antara tembok-tembok kota Pada barik di atas, terasa adanya imajinasi, di mana pembaca dapat membayangkan sebuah dunia yang sunyi, yang dapat diibaratkan dengan daun-daun yang luruh, atau ranting-ranting yang lepas oleh angin. Bayangan itu lahir, karena fungsi indra penglihatan (mata), berhasil dihadirkan ke dalam puisi. Bahasan tentang imajinasi, secara lebih mendalam, akan dipaparkan pada bagian di depan. Namun pada bagian ini ingin saya tegaskan, bahwa indra harus diletakkan dengan benar pada karya puisi, guna melahirkan imajinasi yang hidup. Indra yng keliru, bisa membingungkan pembaca, sebab umumnya pembaca, pada awalnya, selalu mencerap karya seni dengan menggunakan pendekatan realisme, atau dikaitkan dengan kenyataan keseharian. Bila ia kebingungan sudah sejak di awal pembacaan, sangat mungkin ia mengakhiri bacaannya. Bagi pembaca advance (lanjutan), mungkin akan berusaha mengutak-atik bacaannya, sampai ia dapat memaknainya. 

 B.2. Logika Bahasa Ada jargon di kalangan penyair, yaitu mereka memiliki garansi ‘licentia poetica’, atau kebebasan dalam berekspresi. Berlindung di balik jargon tersebut, bisa lahir anggapan, puisi boleh ditulis sebebas-bebasnya, tanpa peduli apakah pembaca bisa menyerap apa yang disampaikan si penyair, atau tidak mengerti sama sekali. Bisa menikmati puisi yang disajikan, atau malah ‘muntab’. Jargon licentia poetica tidak bermaksud seperti itu, tapi lebih pada kebebasan memilih ‘teknik ungkap’ atau ‘prosedur ucap’, untuk melahirkan ekspresi yang memikat dalam karya puisi. Demi melahirkan efek estetika yang khas dan harismatis, kadang si penyair melakukan pelanggaran kaidah kebahasaan, atau menyimpang dari hal-hal yang logis menurut kenyataan indrawi, atau terkadang menerabas pakem-pakem perpuisian yang konvensional. Bisa dikatakan, licentia poetica memang merupakan kebebasan untuk menggunakan bahasa sesuai kebutuhan, tapi bukan berarti bebas menulis puisi, yang sama sekali tidak bisa dimengerti, bahkan oleh si penyairnya sendiri. Karena itu, penyimpangan yang dilakukan penyair, biasanya masih mempertimbangkan kebermaknaan kosakata dan tata-makna (semantik). Penyimpangan tersebut, lebih banyak dilakukan pada tataran fonologi (tata hurup), morfologi (tata kata), atau sintaksis (tata kalimat). Misalnya, kata ‘telah’ ditulis menjadi ‘tlah’, atau frase ‘aku mengerti’ ditulis menjadi ‘kumengerti’. Penulisan ‘tlah’ dan ‘kumengerti’ memang salah menurut ilmu kebahasaan, namun bisa diterima berdasarkan asas kebebasan berekpresi, dan masih bisa dipahami maknanya. Ada juga yang melakukan penyimpangan pada tata kalimat (sintaksis), seperti yang sering dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Meskipun terjadi penyimpangan pada tataran fonologi, morfologi, atau sintaksis, namun penyair yang menyadari pentingnya unsur komunikatif dalam puisi, ia akan tetap berusaha menciptakan puisi yang bisa dianalisis dengan menggunakan logika kebahasaan. Perhatikan penyimpangan kebahasaan yang dilakukan oleh Sutardji dalam penggalan puisi di bawah. sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya kedalam nyanyi Puisi di atas, bisa membingungkan pembaca pemula. Waktu pertama kali membaca puisi tersebut, saya termasuk kebingungan, karena saya membacanya berdasarkan kesatuan hurup demi hurup, yang saya pikir membentuk kata-kata baru, yang belum dimuatkan dalam kamus. Teman saya memberi masukan, dan memberi contoh pembacaannya: sepisau pa, sepisau pi sepi sapanya sepi kau sepi sepisau pa sepisau pi sepikul diri keranjang duri Meskipun terdapat jargon licentia poetica, namun ada baiknya para penulis puisi, tetap mengindahkan tata bahasa yang berlaku, sebab puisi telah meminjam bahasa sebagai sarana ungkap. Sering saya temukan puisi yang sulit dipahami, bukan karena si penyair melakukan pelanggaran kebahasaan, untuk melahirkan efek estetik, melainkan karena ia tidak cakap dalam menggunakan tata bahasa yang berlaku. Lahir pertanyaan, apakah untuk menciptakan puisi yang bagus dan memikat, namun benar secara kebahasaan, penyair harus belajar ilmu bahasa? Jawabannya, ingin saya tegaskan, para penyair hebat, ternama, dan terdepan, bila dicermati karya-karyanya, tampak mereka itu menguasai ilmu tata bahasa, cakap berbahasa. Penyair yang ‘luar biasa’ umumnya juga gemar membaca dan berdikusi, sehingga karya mereka itu memancarkan seorang penyair yang berwawasan luas. Ilmu bahasa harus dipelajari, bukan saja yang berkait dengan tata-bahasa, namun juga pada prinsip-prinsip logika yang melekat dengan bahasa. Logika bahasa paling sederhana adalah perkara ‘ya’ dan ‘tidak ya’, atau ‘ada’ dan ‘tidak ada’. Jika diajukan pertanyaan, apa lawan dari warna hitam? Banyak yang menjawab secara otomatis, yaitu ‘putih’. Melalui logika ‘ya’ dan ‘tidak ya’, maka lawan warna ‘hitam’ itu adalah ‘tidak hitam’. Lalu apa saja yang tidak hitam? Seluruh warna yang bukan hitam, adalah tidak hitam. Maka lawan warna putih itu, bisa saja warna hijau, sebab hijau adalah tidak hitam. Memasuki logika bahasa, pada akhirnya akan bertautan dengan logika-logika di bidang ilmu lainnya. Sebab semua ilmu pengetahuan, memiliki logikanya masing-masing. Logika dalam ilmu pengetahuan itulah yang disebut dengan teori atau rumus. Maka sesuatu disebut ilmu, setelah bisa dibuktikan dengan rumus yang logis. Betapa penting belajar logika bagi para penulis puisi, terutama logika bahasa, sebab meskipun karya puisi bagian dari kesenian, namun bahasa sebagai sarana yang dipinjam untuk berpuisi, memiliki logika yang pasti. Paparan tentang logika ini, di sampaikan dalam sub-bab amanat, walaupun tidak berkaitan dengan tegas antara ilmu logika dan amanat dalam puisi. Namun amanat akan lebih mudah diserap oleh pembaca, bila disampaikan dalam bahasa yang logis. Pengertian ‘logis’, menurut ilmu logika adalah sesuatu yang wajar, yang dapat diterima oleh akal dan nalar manusia. B.3. Logika Komunikasi Haruskah puisi yang ditulis itu komunikatif? Jawaban-nya adalah relatif. Bagi saya, bahasa yang digunakan dalam berpuisi, harus komunikatif dari aspek kebahasaan. Hindari penulisan puisi yang tidak komunikatif, yang terjadi karena penulis benar-benar tidak mengerti kaidah kebahasaan. Salah satu fungsi bahasa, adalah menjadi sarana untuk berkomunikasi. Sekali lagi, disebabkan puisi telah meminjam bahasa untuk mengkomunikasikan gagasan, maka puisi yang ditulis, supaya komunikatif, sebaiknya benar menurut kaidah kebahasaan. Namun perlu saya tegaskan, bahwa ‘bahasa’ dan ‘komunikasi’ adalah dua bidang yang berbeda. Karena itu, di Perguruan Tinggi pun, ada Jurusan Bahasa, dan ada Jurusan Komunikasi. Kegiatan berkomunikasi, telah meminjam bahasa untuk menyampaikan maksud dari komunikasi. Namun tidak semua komunikasi disampaikan dengan bahasa verbal. Cukup banyak komunikasi yang disampaikan dengan bahasa nonverbal, yaitu melalui gerak tubuh, isyarat, kode, sandi, simbol. Gunung misalnya, adalah bahasa peringatan Tuhan. Bila gunung dibuat gundul, maka ekosistem akan rusak, dan air artesis akan sulit didapat. Cara berkomunikasi simbolik-lah, yang paling banyak didedahkan oleh para penyair, dalam puisi-puisinya. Namun meskipun komunikasinya simbolik, tetap saja terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut. Logika komunikasi itu, sederhana saja hukumnya, yaitu ada yang berbicara, dan ada yang mendengarkan, serta ada yang menulis dan ada yang menjadi pembaca tulisan. Pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, ditandai menjadi orang ke-1 yaitu aku (saya), orang ke-2 adalah kau (kamu), dan orang ke-3 yang dibicarakan oleh aku dan kau, yaitu dia atau mereka. Dalam karya sastra, juga terdapat logika komunikasi, antara yang menceritakan dan yang diceritakan. Dalam karya prosa, ada istilah sudut pandang orang kesatu, yaitu si penulis bertindak seolah-olah sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita, dan cenderung menjadi tokoh utama. Lalu ada istilah sudut pandang orang ketiga, di mana si penulis hanya menjadi sohibul hikayat (pencerita). Dalam puisi, tidak diterapkan istilah sudut pandang orang kesatu, kedua dan ketiga, meskipun secara komunikasi bahasa, tetap saja ada orang kesatu, kedua, dan ketiga. Pihak yang terdapat dalam puisi, diberi istilah khusus, yaitu ‘aku lirik’ dan ‘aku puitik’. Aku lirik adalah tokoh ‘aku’ di dalam puisi. Sedangkan ‘aku puitik’ adalah ‘aku’ si penyair yang empunya sudut pandang dalam berpuisi. Kedudukan aku puitik, bisa sebagai orang pertama, tapi bisa juga sebagai orang ketiga. Meskipun puisi itu bukan cerita, namun dalam puisi juga tetap terdapat kedudukan si pencerita, yang menuturkan pusi tersebut kata per kata, apakah dalam sudut pandang sebagai orang pertama, maupun sebagai orang ketiga. Penjelasan ini saya sampaikan untuk para pemula, yang terkadang masih tertukar penggunaan partikel ‘ku’, ‘mu’, atau ‘nya’ sebagai pengganti orang kesatu, kedua, atau ketiga. Berikut contoh kekeliruan penggunaannya dalam puisi. Aku menangis malam ini sedalam laut, bahkan yang belum dikenal karena kau, telah menyakitinya Perhatikan, pada larik pertama si penyair menempatkan diri sebagai aku lirik, yaitu aku dalam puisi. Di larik ketiga, ia menulis telah menyakitinya. Partikel ‘nya’ di sana, bersifat ambigu, meskipun bisa dicarikan argumentasi pembenarannya. Partikel yang tepat, adalah ‘ku’, sehingga mestinya ditulis menyakitiku. Jika tetap ingin mempertahankan partikel ‘nya’, ada baiknya larik ketiga dikasih tanda petik, untuk memberi tahu kepada pembaca, bahwa pada penggalan puisi di atas, si penulis melakukan pergantian sudut pandang. Pada larik pertama, ia menempatkan diri sebagai sudut pandang orang pertama, dan pada larik ketiga, menggunakan sudut pandang orang ketiga. Aku menangis malam ini sedalam laut, bahkan yang belum dikenal “karena kau, telah menyakitinya.” Penjelasan di atas, adalah untuk menunjukkan bahwa sudut pandang penyair, yang menceritakan puisi, dan pihak yang diceritai, tetaplah berlaku sesuai dengan logika bahasa dan logika komunikasi. Sebaiknya penulis tidak melabrak konvensi tersebut, guna memudahkan pembaca dalam memahami apa yang hendak disampaikan penyair. B.4. Filsafat Berpuisi, menurut saya, pada akhirnya adalah usaha untuk berfilsafat. Setiap penyair pasti hendak menyampaikan pikiran, atau pendapat yang benar, menurut versinya masing-masing. Sekalipun si penyair itu membahas tentang cinta, namun yang diapungkan tentulah pengertian cinta yang ‘benar’ menurut si penyairnya. Aktivitas dalam mencari atau mendekati kebenaran, bukankah itu merupakan kegiatan berfilsafat? Sekalipun penyair memiliki hak prerogatif atau ‘licentia poetica’, namun bila saya perhatikan karya para penyair serius, baik kelas nasional atau kelas peraih Hadiah Nobel sastra, kandungan yang mereka sampaikan, senantiasa menyodorkan renungan-renungan filosofis. Puisi berjudul ‘Aku Ingin’ yang ditulis oleh Sapardi itu, bisa ditelisik, bagaimana Sapardi berfilsafat di dalam puisinya. aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Sapardi menyodorkan suatu ‘premis’ (pernyataan), yaitu konsep cinta yang sederhana. Ia tidak membuat definisi tentang cinta yang sederhana, sebab termis-nya itu ia sodorkan dalam bentuk puisi. Tapi ia menyodorkan ‘premis’ atau kesimpulan, bahwa cinta yang sederhana itu, adalah cinta yang tidak diucapkan, namun dilakukan dengan iklas. Sebelum dibakar, kayu itu berkata, aku mencintaimu, maka bakarlah aku. Pembuktian cinta kayu kepada api, melahirkan abu: Sebuah benda yang bagi pembaca kritis, akan merenung, bahwa manusia akan kembali menjadi tanah, serupa abu. Itulah yang saya maksud dengan pernyataan, bahwa berpuisi pada akhirnya merupakan kegiatan berfilsafat. Filsafat selalu disebut-sebut sebagai ibu dari semua ilmu pengetahuan. Ilmu pertama di dalam filsafat adalah logika. Ya, logika amat penting dipahami dan dipelajari, sebab dengan berlogika untuk di berbagai bidang, akhirnya lahir ilmu-ilmu lainnya. Seperti di atas dikatakan, bahwa setiap ilmu memiliki logikanya masing-masing. Dengan berlogika, akan sampai pada keteraturan, atau logika akan melahirkan aturan. Bahasa ilmiah untuk menyebut aturan, adalah ‘etika’. Jadi, aturan itu tiada lain adalah etika. Saya membagi dua jenis etika, yaitu etika normatif, dan etika positif. Etika normatif, bersentuhan dengan aturan yang bermuara pada norma atau moral. Sedangkan etika positif akan bersentuhan dengan teknik atau metode. Guna memudahkan dalam membedakan keduanya, kita ambil contoh dalam permainan sepakbola. Etika normatif dalam sepakbola, mengatur hal-hal yang berkait dengan aturan main, misalnya lengan pemain tidak boleh menyentuh bola, atau dilarang melanggar pemain lawan secara disengaja dan membahayakan, dan jika itu terjadi, maka akan dikenakan pelanggaran, dari mulai pelanggaran ringan, dikasih kartu kuning, atau malah kartu merah. Adapun etika positif akan berkait dengan kemampuan teknis, misalnya teknik dribling (menggiring) bola, menggocek lawan, teknik menyetop bola, teknik menyundul. Kedua etika tersebut, normatif dan positif, sebaiknya dapat dikuasai, untuk melahirkan permainan sepakbola yang indah. Lionel Messi beroleh hadah Balon d’ Or secara berturut-turut, karena dia merupakan pemain yang menjalankan etika normatif dengan etika positif sama baiknya. Bila seseorang berhasil memadukan etika normatif dan etika positif dalam suatu bidang, maka apa yang dihadirkannya pada bidang tersebut, akan tampak memukau. Bahasa Yunani untuk memukau ini tiada lain adalah estetik. Adapun estetika, merupakan induk dari ilmu-ilmu yang disebut kesenian. Maka bila disederhanakan, rantaian dari logika hingga ke estetika, akan seperti ini: Bila seseorang telah bisa bertindak secara logis, maka ia akan tahu etika, dan bila ia menjalankan etika secara sempurna, maka akan memukau, dengan kata lain, ia telah berkesenian. Karena itulah, kesenian itu sebenarnya luas, dan setiap bidang memiliki seni-nya masing-masing, seperti seni memasak, seni menyajikan teh, seni berpidato, seni menghormati orang tua, dll. Dengan runtutan di atas, semakin bisa diterima oleh akal, bahwa pada akhirnya, kegiatan berpuisi harus memahami juga logika, seperti dipaparkan di atas. Dengan logika yang benar dan bernas, maka ‘amanat’ atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis, akan lebih mudah sampai kepada pembaca yang dituju. C. Imajinasi Tentang imajinasi ini, saya berbeda pandangan dengan beberapa pakar teori puisi, seperti Herman J. Waluyo. Para pakar teori puisi memasukkan unsur imajinasi ini ke dalam bagian ‘Raga’ atau ‘Bentuk’ puisi, tapi saya memasukkannya ke dalam bagian ‘Jiwa’ atau ‘Isi’ puisi. Terlepas dari perbedaan tersebut, namun benar bahwa imajinasi harus ada dalam puisi, apakah Anda nantinya akan ikut mengkategorikan unsur imajinasi ini ke dalam Jiwa, atau Raga puisi. Mungkin setelah saya paparkan, Anda punya pandangan yang sama dengan saya. Arti imajinasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah: 1) daya pikir untuk membayangkan, atau menciptakan gambar (lukis-an, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang; 2) khayalan. Dari pengertian kamus di atas, dapat disederhanakan, bahwa arti imajinasi adalah bayangan. Bayangan lahir karena karena adanya aktivitas meng-indra, yang dapat menggambarkan sebuah objek, sekalipun objek tersebut tidak berada di depan kita. Bisa jadi objek tersebut telah menjadi kenangan, dan atau bisa jadi objek tersebut, tidak pernah hadir dalam kenyataan. Ia hanya ada dalam bayangan, atau dongengan. Selama ini, indra manusia yang dikenal ada lima, atau disebut dengan pancaindra. Jadi, berimajinasi itu adalah proses membayangkan dengan salah satu indra, atau lebih dari satu indra, atau malah dengan seluruh indra sekaligus. Ketika teringat ibuku yang sudah almarhum, indra-ku langsung bekerja. Mataku teringat pada raut mukanua, dan telingaku teringat pada suaranya. Lalu hidungku teringat pada parfum yang suka dikenakannya saat berangkat ke kondangan, atau ke pengajian. Lidahku teringat pada rasa masakannya, dan perabaanku teringat saat ia membelaiku dengan kasih, waktu aku terbantal di rumah sakit. Seluruh indra, pancaindra, bisa bekerja pada saat kita mengenangkan seseorang atau sesuatu. Namun, seringkali di saat menulis puisi, indra yang kita aktifkan hanya indra penglihatan, atau indra pendengaran, dan jarang mengaktifkan indra-indra lainnya. Tentu itu syah-syah saja. Namun imajinasi akan lebih hidup bila dalam satu tulisan, bisa kita hadirkan ingatan atau bayangan, lebih dari satu indra. Contoh-contoh pengindraan: Aku dengar jerit hewan yang terluka (citra/indra pendengaran) Ada orang memanah rembulan (citra / indra penglihatan) Aku mencium bau tuba pengkhianatan (citra / indra penciuman) Terasa pahit di ujung tenggorokan (citra / indra pengecapan) Kulitku hangus dibakar angin sisa salju (citra / indra perabaan) Di bagian atas telah diutarakan, bahwa aktivitas indrawi memiliki logikanya sendiri, yang harus dipatuhi oleh para penulis puisi, supaya amanat atau pesan yang hendak kita sampaikan kepada pembaca, bisa sampai dengan benar. Saya tegaskan lagi, sebaiknya logika indrawi itu dipatuhi saat kita berpuisi, sebab pembaca umumnya, akan menarik imajinasi yang ia cerap dalam puisi, ke dalam logika indrawi keseharian. Nah, selain panca indra, sebenarnya ada indra lain yang jarang digunakan atau malah jarang diketahui orang, yaitu nurani dan intuisi. Gabungan dari nurani dan intuisi itulah yang sering disebut dengan indra keenam atau telepati. Nurani adalah tenaga ilahiah yang sulit dibohongi. Nurani sering disetarakan dengan hati yang paling bersih, atau lubuk hati yang paling dalam. Vokabulari ‘nurani’ sering kali digandengkan dengan kosakata ‘hati’, sehingga membentuk frase ‘hati nurani’. Bahasa lain untuk nurani adalah ‘hati kecil’, ‘hati yang kanan’, ‘gerentes hate leutik’ (bisikan hati kecil) yang tak dapat diajak berbohong. Karena itu, banyak orang yang berucap, ketika seniman menyuarakan nuraninya, maka seniman dinisbatkan sebagai sekelompok orang yang jujur. Tapi ketahuilah, banyak pula seniman yang nuraninya tertutup, sehingga ia menjadi seniman hipokrit. Akal bisa membuat seseorang akal-akalan, dan mencari seribu alasan untuk pembenaran atas tindakannya, tapi nurani tidak bisa dibohongi. Karena itu, saya sering membahasakan pengertian ‘nurani’ dengan ‘perasaan yang berpikir’. Adapun intuisi, adalah pikiran yang bekerja di bawah sadar. Menurut kamus, intuisi adalah daya atau kemampuan mengetahui, atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Intuisi sering diidentikan dengan indra keenam, sebab punya kemampuan dalam memprediksi. Namun, sesuatu yang dapat memprediksi, bukan hanya intuisi, tapi juga telepati, dan telepati bersumber dari bisikan hati atau nurani. Karena itu, saya sering membahasakan indra keenam adalah gabungan dari nurani dan intuisi. Ketika keduanya bekerjasama, itu bisa membuat orang bisa ‘membaca’ keadaan dengan cepat, bisa mengungkap sesuatu yang tersembunyi, atau disembunyikan, dan bisa memprediksi sesuatu bakal terjadi. Ada penyair yang seakan bisa meramalkan kejadian di masa depan. Itu terjadi, karena penyair menanggapi keadaan dengan menggunakan nurani dan intuisinya. Mereka yang memiliki kepekaan nurani dan intuisi, sering disebut dengan manusia indigo. Nurani dan intuisi memang harus diolah, supaya kita makin peka, dan supaya puisi-puisi yang kita tulis, lebih berkualitas dalam kandungan amanatnya. Kembali pada masalah imajinasi dalam puisi, titik berat yang hendak disampaikan, adalah masalah pengamatan hasil pancaindra tadi, yang perlu dihadirkan dalam puisi. Sebab tanpa imajinasi yang jelas, sebuah puisi akan sulit dihayati emosinya. Puisi tanpa emosi, juga akan terasa bisu. D. Emosi Puisi tanpa emosi ibarat masakan tanpa bumbu. Emosi dalam puisi, tentu saja merupakan gambaran dari emosi manusia pada umumnya, yang menyangkut keadaan marah, sedih, gembira, murung, cinta, rindu, cemburu, dendam, dan semua perasaan-perasaan manusia yang ada. Pada bagian imajinasi telah ditegaskan, emosi bisa muncul dalam puisi, bila terdapat imajinasi yang tertangkap dalam puisi yang dibaca. Bila imajinasi tak terlacak, maka emosi pun akan sulit dimunculkan. Ada istilah puisi gelap, itulah puisi yang sulit dilacak imajinasinya, dan tentu sulit dirasakan emosinya. Bila emosinya sulit dirasakan, maka sulit pula puisi tersebut dibacakan dengan penghayatan. Pembaca-an pusi tanpa penghayatan, biasanya tidak memukau. Tidak memukau, itu artinya tidak estetik. Dalam setiap lomba baca puisi, unsur emosi atau peng-hayatan, menjadi salah satu ukuran untuk menilai pembacaan puisi oleh peserta. Beberapa kali saya menjadi juri lomba baca puisi, seringkali peserta gagal memabawakan emosi yang sesuai dengan kehendak puisi, ketika tafsir dan pengimajian terhadap puisi yang dibacanya, telah gagal dilakukan. Dengan demikian bisa ditarik garis lurus, bahwa emosi akan muncul bila amanat dalam puisi itu tegas, dan amanat akan tersampaikan, bila disalurkan dalam bahasa yang benar serta komunikatif, dan melalui imajinasi yang jelas. Amanat yang tegas dan imajinasi yang jelas, akan memunculkan emosi, yang bisa terasa oleh pembaca. Daya gugah sebuah puisi, memang bukan hanya emsoi, tapi salah satunya dibangun oleh emosi yang terdedahkan dalam puisi tersebut. Tanpa emosi, puisi pun menjadi sulit untuk dibacakan dengan deklamasi yang memukau. Kebermaknaan puisi memang bukan terletak pada daya gugah emosinya saja, tapi bisa jadi terletak pada loncatan-loncatan idenya, atau pada keunikan kosakata dan metafornya. Namun tentu akan lebih baik, jika sebuah puisi itu memiliki kebermaknaan, karena memiliki ‘kekuatan’ pada semua unsur yang membangun jiwanya, yaitu amanah yang tegas, imajinasi yang terang-benderang, dan emosi yang menggugah. Bagaimana caranya menuangkan emosi supaya terasa menggelegak? Pertanyaan tersebut lumayan sulit dijawab. Sering kali saya menuangkan saja dulu ke dalam kata-kata, emosi yang saya rasakan. Dibiarkan saja dulu kata-kata itu, sambil diendapkan, untuk kemudian diedit atau malah direvisi. Pengalaman proses kreatif tiap orang jelas berbeda-beda. Saya tidak bisa menuangkan kemarahan atau kesedihan dalam puisi, di saat saya masih marah atau sedih. Jika dipaksakan, saya rasakan visi dalam puisi tersebut amat buruk, seperti memancarkan aura negatif. Tapi kadang saya tuliskan saja dulu, tak mengapa beraura buruk juga, setidaknya untuk mendokumentasikan momen kesedihan atau kemarahan. Suatu hari, ketika suasana sudah berubah, saya periksa lagi, dan saya revisi puisi tersebut, supaya lebih memancarkan aura yang positif, serta dengan estetika yang selaras. Kita harus bersikap kritis, mengolah daya nalar yang waras, serta menumbuhkan jiwa empatik, namun ada baiknya emosi yang kita kembangkan dalam puisi, adalah emosi yang positif, yang memberikan harapan dan pencerahan, dan bukan sekedar menumpahkan kemurungan, mengumbar kegalauan semata, atau mencaci-maki, seakan kita yang paling benar dan suci. Puisi yang seperti itu, akan berhenti di sebatas jargon, dan biasanya tidak menarik untuk dicerna. Tentang emosi ini, nanti di Bab Raga Puisi, akan diulas kembali, terutama menyangkut teknik menghadirkannya lewat pilihan Rasa dan Warna Kata. E. Topik Bahasan Tema adalah ruang-lingkup pembicaraan. Para pakar sering mengklasifikasikan tema dalam karya sastra ke dalam tiga ruang-lingkup, yaitu ketuhanan, cinta, dan sosial. Sebuah puisi bisa saja menuliskan tiga tema secara langsung dalam satu karya. Namun kadang penulis suka mengalami stagnasi ketika mengeksplorasi tema, karena itu saya sarankan, semua yang hendak menjadi penulis, karya apapun, rajin dan gemar membaca, terutama membaca sejarah, misalnya sejarah para nabi dan tokoh-tokoh, membaca mitologi, fabel, dan lain-lain. Dari situ, biasanya lahir identifikasi dari penulis ke tokoh yang ia baca. Sub-judul tulisan ini adalah ‘Topik Bahasan”, lalu apa yang membedakannya dari ‘tema’? Tema adalah ruang lingkup yang besar, dan bila mengerucut ke dalam ruang lingkup yang lebih sempit, maka disebut dengan topik. Bisa disederhanakan, tema adalah bahasan makna yang bersifat global, dan ketika dipersempit, itu dinamakan topik bahasan. Setiap karya tulis, pasti memiliki tema atau topik yang dibahasnya. Tema-tema yang sering diangkat ke dalam puisi, oleh para penyair besar, nasional pun internasional, umumnya berkisar antara relijiusitas, percintaan, dan masalah sosial. Saya menemukan kesimpulan tersebut, setelah membaca puisi para peraih Nobel, seperti Derek Walcot, Pablo Naruda, JW Enright, James Joyce, atau penyair-penyair besar seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Toety Herawati, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Dorothe Rosa Herliani, hingga ke generasi Ahmad Faisal Imron, dll. Dari karya mereka pula, saya menemukan asumi, bahwa karya seni, termasuk puisi, yang cenderung menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau festival, adalah yang tema atau amanatnya mengusung muruah human interest (kepentingan manusia). Apa saja kepentingan manusia? Kepentingan manusia yang mendasar adalah hak untuk bisa hidup, lalu sejahtera, bahagia, dan bermartabat. Ketiga hal itulah yang kerap menjadi topik bahasan, dalam karya-karya seni yang unggul. Di beberapa negara, yang selalu diliputi konflik dan kemelut peperangan, bahkan untuk hidup menderita saja amat susah, maka tema-tema kamatian kerap muncul dalam karya seni, seperti tampak misalnya dalam karya Leo Tolstoy dari Rusia, berjudul ‘War and Peace’. Di negara yang tidak terlibat perang, namun masih diliputi konflik internal dan rebutan kekuasaan, serta rakyat hidup dibawah kekejaman rezim yang berkuasa, karya seni yang muncul akan mengeksresikan protes terhadap penguasa yang lalim. Perkara keadilan, sering kali menjadi tema yang ditulis oleh para sastrawan, termasuk keadilan dalam soal percintaan. Hidup manusia, bila kita reungkan, ternyata hanya merupakan rentetan masalah. Karena itu, topik bahasan dalam puisi yang cenderung banyak peminatnya, adalah yang mempermasalah-kan masalah. Keputusasaan yang seakan tidak kunjung berujung, kemurungan yang begitu murah, kepedihan yang menyayat, atau kesedihan yang berlarut-larut, kerap diangkat menjadi topik bahasan oleh para penyair, dari berbagai bangsa dan negara. Di tengah rentetan masalah itu, ada kerinduan manusia pada kehidupan yang damai, manis, berjalan mulus, serta sarat dengan kasih dan cinta. Tema-tema kehidupan seperti ini, menempati posisi kedua, dari jumlah peminatnya. Namun ketahuilah, tema apapun yang digelutinya, puisi yang banyak peminatnya adalah puisi yang ditulis dengan bagus, yang raganya cakep, cantik, dan manis. Untuk itu, paparan selanjutnya akan memasuki Raga Puisi. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHASIAT DAUN BIDARA

Manfaat buah anggur

Lpj jurnalis